Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ashab Al- Furudh Waris Menurut Perspektif Hukum Islam

harta warisan
Harta warisan
 

Harta Dalam Islam 

Melansir dari dakwahpedia. Harta dalam islam terbagi menjadi 3 : Harta hasil usaha sendiri, harta dari warisan dan harta dari pernikahan.

a)  Harta dari usaha sendiri adalah harta yang di hasilkan dari usaha sendiri dari jerih payah sendiri, cara yang seperti ini di puji dalam agama islam selama caranya tidak menyalahi aturan syariat islam.

b)  Harta dari warisan adalah harta yang di hasilkan dari warisan orang yang sudah meninggal dan untuk mendapatkan harta ini tidak susah payah seperti halnya harta hasil usaha sendiri.

c)  Harta dari pernikahan adalah harta yang didapatkan dari salah satu seorang keluarga yang meninggal, dikarenakan dalam pernikahan sangat berkaitan erat dengan hukum warisan.

Waris menurut HKI 

Kompilasi Hukum Islam telah menjelaskan definisi warisan  dalam pasal 171 ayat (a) sebagai berikut : Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang perpindahan hak pemilik harta peninggalan ( tirkah ) pewaris, menentukan siapa yang berhak untuk menjadi ahli waris dan bagian – bagiannya. 

Dari definisi warisan diatas dapat disimpukan bahwa warisan itu mencakup antara lain : pewaris, ahli waris, dan harta peninggalan.

Perinciannya sebagai berikut :

1.  Pewaris adalah seorang yang meninggal dan meninggalkan peninggalan sekaligus ahli waris. Jika belum meninggal maka tidak termasuk dalam hukum warisan dan juga di syaratkan pewaris orang yang beragama islam sebagaima yang telah di jelaskan dalam kajian fiqih mawaris.

2.  Ahli waris adalah keluarga yang masih hidup dan ada hubungan darah kepada pewaris, dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 172 menyatakan bahwa ahli waris harus beragama islam dengan bukti kartu identitas atau bukti yang lain, untuk anak yang baru lahir tergantung dari agama ayahnya dan lingkungan setempat, hal ini juga sesuai dengan kajian fiqih mawaris.

3.  Harta peninggalan adalah harta yang di tinggalkan pewaris yang yang dibagikan kepada ahli waris setelah biaya keperluar pewaris saat sakit  pengurusan jinazah dan pembayaran hutang pewaris.

Macam – Macam Ahli Waris:

Ahli waris terdapat dua macam yaitu waris nasabiyah dan waris sababiyah sebagamana perincian dibawah ini :

1. Waris nasabiyah adalah seseorang yang masih ada hubungan darah dengan pewaris, oleh karna itu menunjukan adanya hubungan keluarga antara ahli waris dan pewaris.

2. Waris sababiyah adalah seseorang yang tidak ada hubungan darah dengan pewaris namun ada sebab lain yang bisa menjadikan ahli waris pewaris antara lain sebabnya adalah :

a)      Sebab pernikahan yang sah.

b)      Sebab wala’atau orang yang memerdekakan budak.

Golongan Ahli Waris

Menurut Kompilasi Hukum Islam golongan ahli waris diatur dalam pasal 174 sebagaimana berikut :

a)      Ahli waris karena ada hubungan kekeluargaan :

1.  Dari golongan laki – laki ada : ayah, anak laki – laki, saudara laki – laki, paman dan kakek.

2.  Dari golongan perempuan : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

b)      Ahli waris karena pernikahan yaitu janda duda

Dari perincian diatas jika semua ahli waris masih ada dalam artian masih lengkap maka yang berhak mendapatkan warisan adalah : anak, ayah, ibu, janda dan duda.

Dari keputusan KHI tentang golongan ahli waris tidak menyebutkan secara sepesifik sebagamana yang telah di sebutkan dalam  fiqih mawaris, dalam fiqih mawaris menyebutkan bahwa golongan ahli waris ada 25 sedangkan dalam KHI hanya menyebutkan 11, hal ini di karenakan dalam KHI tidak menyebutkan garis keturunan masing – masing tapi dalam fiqih mawaris di sebutkan secara spesifik garis keturan masing-masing.

Ashabul furudh

Ashabul furudh adalah ahli waris yang mendapatkan bagian pasti yang sudah ditentukan oleh syariat agama, untuk memehami dengan mudah menggunakan konsep syajaratul mirast sebagai berikut.

Syajaratul Mirast
Syajaratul Mirast

 

Perinciannya sebagai berikut :

a) Suami mendapatkan bagian ½ jika  tidak mempunyai furu’ namun jika mempunyai furu’ maka bagiannya ¼ .

b)  Istri mendapatkan ¼ jika tidak mempunyai furu’namun jika mempunyai furu’ istri mendapatkan 1/8.

c)  Anak perempuan mendapatkan  ½ jika tidak ada anak laki – laki, namun bisa mendapatkan 2/3 ketika ada dua orang atau lebih dan tidak ada anak laki – laki.

d)  Cucu perempuan mendapatkan ½ ketika sendirian tidak ada cucu laki dan tidak ada anak laki atau perempuan, namun bisa mendapatkan 1/6 jika anak perempuan mendapatkan ½  yaitu ketika tidak ada anak laki – laki maupun cucu laki – laki.

e)  Ayah mendapatkan 1/6 jika mempunyai furu’ waris laki – laki dan perempuan yang bersamaan atau mempunyai laki – laki saja, namun bisa mendapatkan 1/6 dan ashobah jika hanya mempunyai furu’ waris perempuan saja.

f)  Ibu mendapatkan 1/3 jika tidak ada furu’ waris dan tidak ada saudara dua orang atupun lebih, namun ibu mendapatkan 1/6 jika ada furu’ waris atau saudara dua orang atau lebih.

g) Kakek mendapatkan 1/6 jika tidak ada ayah, ada furu’ waris laki – laki atau perempuan bersamaan atau hanya laki – laki saja, namun kakek mendapatkan 1/6 dan ashobah jika tidak ada ayah, dan furu’ waris hanya ada perempuan.

h)  Nenek mendapatkan 1/6 jika tidak ada ibu.

i)  Saudari kandung mendapatkan ½ jika sendirian tidak ada saudara kandung, kakek, ayah, anak laki – laki, anak perempuan, cucu laki – laki dan cucu perempuan, nemun mendapatkan 2/3 jika dua orang atau lebih dan tidak ada saudara kandung, kakek, ayah, anak laki – laki, anak perempuan, cucu laki – laki dan cucu perempuan.

j)   Sudari tiri se ayah mendapatkan ½ jika sendirian dan tidak ada saudara tiri se ayah dan tidak ada saudara kandung, kakek, ayah, anak laki – laki, anak perempuan, cucu laki – laki dan cucu perempuan, namun bisa mendapatkan 2/3 jika ada dua orang atau lebih dan tidak ada saudara tiri se ayah tidak ada saudara kandung, kakek, ayah, anak laki – laki, anak perempuan, cucu laki – laki dan cucu perempuan, kemudian saudari tiri se ayah mendapatkan 1/6 jika saudari kandung mendapatkan ½ ( sendirian ) sekaligus tidak ada tidak ada saudara tiri se ayah tidak ada saudara kandung, kakek, ayah, anak laki – laki, anak perempuan, cucu laki – laki dan cucu perempuan.

k)  Saudari tiri se ibu atau saudara tiri se ibu mendapatkan 1/3 jika saudari tiri se ibu dan saudara tiri se ibu jumlahnya dua orang atau lebih dan tidak ada kakek, ayah dan furu’ waris, namu bisa mendaptkan 1/6 jika saudari tiri se ibu atau saudara tiri seibu sendirian tidak ada kakek, ayah dan furu’ waris.

Perincian di atas merupakan perincian Ashab Al Furudh yang menjelaskan bagianya ahli waris sesuai dengan fiqih mawaris, namun dalm KHI tidak dijalaskan dalam pasal 174. KHI dalam pasal 174 hanya menjelaskan ahli waris nasabiyah dan sababiyah oleh karna itu penjelasan dalam fiqih mawaris lebih jelas dari pada dalam KHI. Istilah Dzawil Furudh dan Ashobah disebutkan di dalam pasal yang menjelaskan tentang ‘aul dan radl, bahkan KHI tidak pernah menyebut tentang Dzawil Arham.

Ahli Waris Ashabah

Ahli waris Ashabah adalah ahli waris yang mendapatkan bagian akhir yang tidak tertentu atau lebih tepatnya ahli waris yang tidak mendapatkan bagian yang sudah di tentukan ( Al Furud Al Muqoddarah ). Dalam Ashabah terkadang ahli waris Ashabah  mendapakan harta banyak dan terkadang tidak mendapatkan sama sekali.

Macam - macam Ashabah

1.   Ashabah bi Nafsihi

Ashabah bi nafsihi adalah golongan yang mendapatkan bagian dengan sendirinya tanpa terlibatnya orang lain dan Ashabah bi Nafsihi ini seluruh ahli waris laki – laki tanpa ada perempuan.

2.   Ashabah bil Ghairi

Ashabah bil Ghairi adalah golongan perempuan yang sudah mendapatkan bagian pasti ( Furud Al – Muqoddarah ) tapi ada yang menjadikannya Ashobah ( Mua’shib ) yaitu saudara laki – lakinya yang berstatus Ashobah bi Nafsihi.

3.   Ashabah ma’al Ghairi

Ashabah Ma’al Ghairi adalah             golongan saudara perempuan baik sekandung atau seayah, dan yang menjadikannya Ashobah adalah anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki laki, dengan bersamaan anak perempuan maka sudara prempuan menjadi Ashobah ma’al Ghairi.

Perlu diketahui bahwa ashabah itu bagian akhir dan bukan bagian yang pasti, jika harta warisan pewaris sisa setelah di bagi secara rata menurut hukum waris maka yang berhak menerima harta sisa tersebut adalah ahli waris ashabah.

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat di simpulkan bahwa ilmu waris adalah ilmu yang sangatlah penting, dengan ilmu waris permasalahan harta warisan dapat diselesaikan dengan adil, di negara indonesia konsep pembagian waris mengikuti tiga konsep yaitu konsep waris agama islam, konsep waris adat dan konsep waris perdata eropa, di negara indonesia konsep waris di bahas dalam KHI pasal 171. Kelemahan pembahasan waris dalam KHI tidak secara spesifik seperti yang telah di jelaskan dalam Fiqih Mawaris tapi secara ekplisit KHI mengakuinya. Dalam KHI hanya menjelaskan ahli waris yang nasabiyah dan sababiyah saja, istilah  Ashab Al Furud dan Ashabah dalam KHI disebutkan dalam pasal ‘aul dan radl bukan dalam kelompok ahli waris, untuk perincian lebih lengkapnya dapat di lihat dalam Fiqih Mawaris.

Posting Komentar untuk "Ashab Al- Furudh Waris Menurut Perspektif Hukum Islam"